Hal yang Membatalkan Puasa
CERITA ISLAMI ISLAMI KUMPULAN DOA
Seperti sudah diketahui dari definisi puasa bahwa puasa adalah menahan diri dari segala yang membatalkan puasa dari mulai terbit fajar sampai terbenam matahari dengan berniat. Oleh karena itu mulai dari terbit fajar shadiq sebagai pertanda masuknya waktu shalat Subuh, seorang yang berpuasa sudah harus menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya sampai matahari terbenam di penghujung siang. Jikalau tidak, berarti puasanya batal. Berikut beberapa hal yang membatalkan puasa.
1. Makan dan minum dengan sengaja.
Hal ini merupakan pembatal puasa berdasarkan kesepakatan para ulama. Makan
dan minum yang dimaksudkan adalah dengan memasukkan apa saja ke dalam tubuh
melalui mulut, baik yang dimasukkan adalah sesuatu yang bermanfaat (seperti
roti dan makanan lainnya), sesuatu yang membahayakan atau diharamkan (seperti
khomr dan rokok), atau sesuatu yang tidak ada nilai manfaat atau bahaya
(seperti potongan kayu). Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala, “Dan makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah [2]:
187).
Jika orang yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah
batal. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia
tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan minum.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya Allah
menghilangkan dari umatku dosa karena keliru, lupa, atau dipaksa. Yang juga
termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan melalui infus. Jika seseorang
diinfus dalam keadaan puasa, batallah puasanya karena injeksi semacam ini
dihukumi sama dengan makan dan minum. Siapa saja yang batal puasanya karena
makan dan minum dengan sengaja, maka ia punya kewajiban mengqodho’ puasanya,
tanpa ada kafaroh. Inilah pendapat mayoritas ulama.
2. Muntah dengan sengaja.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
yang dipaksa muntah sedangkan dia dalam keadaan puasa, maka tidak ada qodho’
baginya. Namun apabila dia muntah (dengan sengaja), maka wajib baginya membayar
qodho’.”
3. Haidh dan nifas.
Apabila seorang wanita mengalami haidh atau nifas di tengah-tengah berpuasa
baik di awal atau akhir hari puasa, puasanya batal. Apabila dia tetap berpuasa,
puasanya tidaklah sah. Ibnu Taimiyah mengatakan, “Keluarnya darah haidh dan
nifas membatalkan puasa berdasarkan kesepakatan para ulama.” Dari Abu Sa’id Al
Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah kalau wanita
tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak menunaikan puasa?” Para wanita
menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah
kekurangan agama wanita.” Jika wanita haidh dan nifas tidak berpuasa, ia harus
mengqodho’ puasanya di hari lainnya. Berdasarkan perkataan ‘Aisyah, “Kami
dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan
tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.” Berdasarkan kesepakatan para
ulama pula, wanita yang dalam keadaan haidh dan nifas wajib mengqodho’ puasanya
ketika ia suci.
4. Keluarnya mani dengan sengaja.
Artinya mani tersebut dikeluarkan dengan sengaja tanpa hubungan jima’. Hal
ini menyebabkan puasanya batal dan wajib mengqodho’, tanpa menunaikan kafaroh.
Inilah pendapat ulama Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Dalil hal ini adalah
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “(Allah Ta’ala berfirman): ketika
berpuasa ia meninggalkan makan, minum dan syahwat karena-Ku”. Mengeluarkan mani
dengan sengaja termasuk syahwat, sehingga termasuk pembatal puasa sebagaimana
makan dan minum.
Jika seseorang mencium istri dan keluar mani, puasanya batal. Namun jika
tidak keluar mani, puasanya tidak batal. Adapun jika sekali memandang istri,
lalu keluar mani, puasanya tidak batal. Sedangkan jika sampai berulang kali
memandangnya lalu keluar mani, maka puasanya batal. Lalu bagaimana jika sekedar
membayangkan atau berkhayal (berfantasi) lalu keluar mani? Jawabnya, puasanya
tidak batal. Alasannya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang terbayang dalam hati mereka,
selama tidak melakukan atau pun mengungkapnya”
5. Berniat membatalkan puasa.
Jika seseorang berniat membatalkan puasa sedangkan ia dalam keadaan berpuasa.
Jika telah bertekad bulat dengan sengaja untuk membatalkan puasa dan dalam
keadaan ingat sedang berpuasa, maka puasanya batal, walaupun ketika itu ia
tidak makan dan minum. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap orang hanyalah mendapatkan apa yang ia niatkan.”. Ibnu Hazm
rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa berniat membatalkan puasa sedangkan ia
dalam keadaan berpuasa, maka puasanya batal.” Ketika puasa batal dalam keadaan
seperti ini, maka ia harus mengqodho’ puasanya di hari lainnya.
6. Jima’ (bersetubuh) di siang hari.
Berjima’ dengan pasangan di siang hari bulan Ramadhan membatalkan
puasa, wajib mengqodho’ dan menunaikan kafaroh. Namun hal ini berlaku jika
memenuhi dua syarat: (1) yang melakukan adalah orang yang dikenai kewajiban
untuk berpuasa, dan (2) bukan termasuk orang yang mendapat keringanan untuk
tidak berpuasa. Jika seseorang termasuk orang yang mendapat keringanan untuk
tidak berpuasa seperti orang yang sakit dan sebenarnya ia berat untuk berpuasa
namun tetap nekad berpuasa, lalu ia menyetubuhi istrinya di siang hari, maka ia
hanya punya kewajiban qodho’ dan tidak ada kafaroh.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Suatu hari kami duduk-duduk di dekat Rasul, kemudian datanglah seorang pria
menghadap beliau. Lalu pria tersebut mengatakan, “Wahai Rasulullah, celaka aku,
Rasulullah berkata, “Apa yang terjadi padamu?” Pria tadi lantas menjawab, “Aku
telah menyetubuhi istri, padahal aku sedang puasa.” Kemudian Rasulullah
bertanya, “Apakah engkau memiliki seorang budak yang dapat engkau merdekakan?”
Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas Rasulullah lagi, “Apakah engkau mampu
berpuasa dua bulan berturut-turut?” Pria tadi menjawab, “Tidak”. Lantas beliau
bertanya lagi, “Apakah engkau dapat memberi makan kepada 60 orang miskin?” Pria
tadi juga menjawab, “Tidak”. Abu Hurairah berkata, Rasulullah lantas diam.
Tatkala kami dalam kondisi demikian, ada yang memberi hadiah satu wadah
kurma kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau berkata,“Di
mana orang yang bertanya tadi?” Pria tersebut lantas menjawab, “Ya, aku.”
Kemudian beliau mengatakan, “Ambillah dan bersedakahlah dengannya.” Kemudian
pria tadi mengatakan, “Apakah akan aku berikan kepada orang yang lebih miskin
dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah, tidak ada yang lebih miskin di ujung
timur hingga ujung barat kota Madinah dari keluargaku. ” Rasulullah lalu
tertawa sampai terlihat gigi taringnya. Kemudian beliau berkata, “Berilah
makanan tersebut pada keluargamu.”
Menurut mayoritas ulama, jima’ bagi orang yang berpuasa di siang hari bulan
Ramadhan (di waktu berpuasa) dengan sengaja dan atas kehendak sendiri (bukan
paksaan), mengakibatkan puasanya batal, wajib menunaikan qodho’, ditambah
dengan menunaikan kafaroh. Terserah ketika itu keluar mani ataukah tidak.
Wanita yang diajak hubungan jima’ oleh pasangannya (tanpa dipaksa), puasanya
pun batal, tanpa ada perselisihan di antara para ulama mengenai hal ini. Namun
yang nanti jadi perbedaan antara laki-laki dan perempuan apakah keduanya
sama-sama dikenai kafaroh.
Pendapat yang tepat adalah pendapat yang dipilih oleh ulama Syafi’iyah dan
Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, bahwa wanita yang diajak
bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafaroh, yang menanggung
kafaroh adalah si pria. Alasannya, dalam hadits di atas, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak memerintah wanita yang bersetubuh di siang hari untuk
membayar kafaroh sebagaimana suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa seandainya
wanita memiliki kewajiban kafaroh, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentu akan mewajibkannya dan tidak mendiamkannya. Selain itu, kafaroh adalah
hak harta. Oleh karena itu, kafaroh dibebankan pada laki-laki sebagaimana
mahar.
Kafaroh yang harus dikeluarkan adalah dengan urutan sebagai berikut.
- Membebaskan seorang budak mukmin yang bebas dari cacat.
- Jika tidak mampu, berpuasa dua bulan berturut-turut.
- Jika tidak mampu, memberi makan kepada 60 orang miskin. Setiap orang miskin mendapatkan satu mud makanan.
Jika orang yang melakukan jima’ di siang hari bulan Ramadhan tidak mampu melaksanakan kafaroh di atas, kafaroh tersebut tidaklah gugur, namun tetap wajib baginya sampai dia mampu. Hal ini diqiyaskan (dianalogikan) dengan bentuk utang-piutang dan hak-hak yang lain. Demikian keterangan dari An Nawawi rahimahullah
Silahkan tinggalkan pesan jika Anda punya saran, kritik, atau pertanyaan seputar topik pembahasan.