Alasan Mengapa Mendaki Gunung
CERITA ISLAMI ISLAMI KUMPULAN DOA
Mengapa Mendaki Gunung?
Bagi orang awam, kiprah petualangan seperti mendaki gunung selalu mengundang pertanyaan klise: mau apa sih kesana? Pertanyaan sederhana, tetapi sering membuat bingung yang ditanya, atau bahkan mengundang rasa kesal. George F Mallory, ketika menjawab: because it is there, karena gunung ada di situ! Mallory, bersama seorang temannya, menghilang di puncak Everest pada tahun 1924.
Beragam jawaban boleh muncul. Soe Hok Gie,salah seorang pendiri Mapala UI, menulisnya dalam puisi: “Aku cinta Pangrango, karena aku mencintai keberanian hidup”. Bagi pemuda ini, keberanian hidup ini harus dibayar dengan nyawanya sendiri. Soe Hok Gie tewas tercekik gas racun di lereng kerucut Mahameru. Gunung Semeru, 16 Desember 1969, di pelukan seorang sahatnya, Herman O. Lantang.
Pemuda aktif yang sehari hari terlibat dalam soal soal pelik di dunia politik ini mungkin menganggap petualangan di gunung sebagai arena untuk melatih keberanian menghadapi hidup. Mungkin pula sebagai pelarian dari dunia yang digelutinya di kota. Herman O. Lantang yakin bahwa sahabatnya itu meninggal dengan senyum dibibir. “Dia meninggal di tengah sahat-sahabatnya di alam bebas, jauh dari intrik politik yang kotor,”ujarnya.
Motivasi mendaki gunung memang bermacam-macam. Manusia mempunyai kebutuhan psikologis seperti halnya kebutuhan kebutuhan lainnya: kebutuhan akan pengalaman baru, kebutuhan berprestasi dan kebutuhan untuk diakui oleh masyarakat dan bangsanya. Mendaki gunung salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, disadari atau tidak . Semua itu sah, tentu saja.
Sebenarnya yang paling mendasar dari semua motivasi itu Adalah rasa ingin tahu yang menjadi jiwa setiap manusia. Anak kecil selalu mengungkapkan rasa ingin tahunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sering membingungkan orang tuanya. Mereka lebih peka terhadap alam disekitarnya. Mereka jauh lebih mampu mengagumi alam disekitarnya dari pada orang dewasa. Kontak dengan alam merupakan proses belajar yang baik baginya. Ketika mereka dewasa, kepolosan itu menghilang dan alam sudah tidak menarik lagi di dunia modern ini. Kepolosan itulah yang kembali pada setiap pencinta alam, petualang dan ilmiawan.
Rasa ingin tahu adalah dasar dari kegiatan mendaki gunung dan petualangan lainnya. Keingintahuannya setara dengan rasa ingin tahu seorang bocah, dan inilah yang mendorong keberanian dan ketabahanya untuk menghadapi tantangan alam. Tetapi apakah sebenarnya keberanian dan ketabahan itu bagi pendaki gunung?
Peter Boardman, Pendaki gunung Inggris, menjadi jenuh dengan puji-pujian yang bertubi-tubi menyusul keberhasilannya mencapai puncak Everest melalui dinding barat daya yang sulit di tahun 1975. Boardman yang kemudian hilang di punggungan timur laut Everest (1982) menulis arti keberanian dan ketabahan baginya: “Dibutuhkan lebih banyak keberanian untuk menghadapi kehidupan sehari-hari yang sebenarnya lebih kejam daripada bahaya pendakian yang nyata. Ketabahan. Tetapi dibutuhkan lebih banyak ketabahan untuk bekerja di kota daripada mendaki gunung yang tinggi.”
Keberanian dan ketabahan yang dibutuhkan ketika mendaki gunung cuma sebagian kecil saja darihidup kita. Bahaya yang mengancam jauh lebih banyak ada di dunia peradaban diperkotaan ketimbang di gunung, dihutan, didalam gua, atau dimana saja alam terbuka. Bayangkanlah mobil-mobil yang berseliweran kencang dijalan raya siap mencabut nyawa kita. Bayangkanlah aksi-aksi kriminal yang mengancam di kota-kota. Seorang ibu terkapar tewas bersama anaknya yang masih kecil di ruas jalan antara Cianjur-Bandung, terhantam sebuah bus! Satu keluarga di sebuah sudut ibukota tewas dibantai oleh sekelompok perampok! Kapan dating giliran kita? Semua jauh lebih mengerikan daripada bayangan kecelakaan yang terjadi di gunung.
Di dunia peradaban modern, di kota, begitu banyak masalah yang membutuhkan keberanian dan ketabahan untuk menyelesaikannya. Bayangkan, uang kita sudah begitu menipis sementara listik, langganan Koran, gaji pembantu, dan lain-lain belum terbayar. Dibutuhkan pula keberanian dan ketabahan yang besar untuk menghadap boss di kantor dan menyampaikan keinginan untuk berhenti bekerja, lalu mencari bidang pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Di gunung, masalah yang kita hadapi cuma satu: bagaimana mencapai puncaknya, lalu turun kembali dengan selamat.
Seorang psikolog pernah mengatakan, bahwa mereka yang menggemari petualangan di alam bebas adalah orang orang yang mencintai kematian, amor fati. Ini pendapat keliru besar. Kenapa? Mereka sebenarnya begitu menghargai kehidupan ini. Ada keinginan mereka untuk memberi arti yang lebih bernilai dalam hidup ini. Mereka bertualang dialam bebas untuk mencari arti hidup yang sebenarnya. Tak berlebihan bila seorang filsafat mengatakan “ Didalam hutan dan alam bebas aku merasa menjadi manusia kembali”.
Petualang yang tewas di gunung bukanlah orang yang mencintai kematian. Kematiannya itu sebenarnya tak berbeda dengan kematian oranglain yang tertabrak mobil dijalan raya atau terbunuh perampok. Yang pasti, Dia tewas justru dalam usahanya untuk menghargai kehidupan ini. ”Hidup ini harus lebih dari sekedarnya” tulis Budi Laksmono, dari Mapala UI yang tewas digulung jeram Sungi Alas, Aceh, 25 februari 1985.
George F Mallory, Soe Hok Gie, Peter Boardman, Budi Laksmono, dan banyak petualang lainnya adalah mereka yang menghargai kehidupan!
Dikutip dari buku, Mengapa Mendaki Gunung Sebuah tantangan Petualangan. Norman Edwin.
Bagi orang awam, kiprah petualangan seperti mendaki gunung selalu mengundang pertanyaan klise: mau apa sih kesana? Pertanyaan sederhana, tetapi sering membuat bingung yang ditanya, atau bahkan mengundang rasa kesal. George F Mallory, ketika menjawab: because it is there, karena gunung ada di situ! Mallory, bersama seorang temannya, menghilang di puncak Everest pada tahun 1924.
Beragam jawaban boleh muncul. Soe Hok Gie,salah seorang pendiri Mapala UI, menulisnya dalam puisi: “Aku cinta Pangrango, karena aku mencintai keberanian hidup”. Bagi pemuda ini, keberanian hidup ini harus dibayar dengan nyawanya sendiri. Soe Hok Gie tewas tercekik gas racun di lereng kerucut Mahameru. Gunung Semeru, 16 Desember 1969, di pelukan seorang sahatnya, Herman O. Lantang.
Pemuda aktif yang sehari hari terlibat dalam soal soal pelik di dunia politik ini mungkin menganggap petualangan di gunung sebagai arena untuk melatih keberanian menghadapi hidup. Mungkin pula sebagai pelarian dari dunia yang digelutinya di kota. Herman O. Lantang yakin bahwa sahabatnya itu meninggal dengan senyum dibibir. “Dia meninggal di tengah sahat-sahabatnya di alam bebas, jauh dari intrik politik yang kotor,”ujarnya.
Motivasi mendaki gunung memang bermacam-macam. Manusia mempunyai kebutuhan psikologis seperti halnya kebutuhan kebutuhan lainnya: kebutuhan akan pengalaman baru, kebutuhan berprestasi dan kebutuhan untuk diakui oleh masyarakat dan bangsanya. Mendaki gunung salah satu sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, disadari atau tidak . Semua itu sah, tentu saja.
Sebenarnya yang paling mendasar dari semua motivasi itu Adalah rasa ingin tahu yang menjadi jiwa setiap manusia. Anak kecil selalu mengungkapkan rasa ingin tahunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sering membingungkan orang tuanya. Mereka lebih peka terhadap alam disekitarnya. Mereka jauh lebih mampu mengagumi alam disekitarnya dari pada orang dewasa. Kontak dengan alam merupakan proses belajar yang baik baginya. Ketika mereka dewasa, kepolosan itu menghilang dan alam sudah tidak menarik lagi di dunia modern ini. Kepolosan itulah yang kembali pada setiap pencinta alam, petualang dan ilmiawan.
Rasa ingin tahu adalah dasar dari kegiatan mendaki gunung dan petualangan lainnya. Keingintahuannya setara dengan rasa ingin tahu seorang bocah, dan inilah yang mendorong keberanian dan ketabahanya untuk menghadapi tantangan alam. Tetapi apakah sebenarnya keberanian dan ketabahan itu bagi pendaki gunung?
Peter Boardman, Pendaki gunung Inggris, menjadi jenuh dengan puji-pujian yang bertubi-tubi menyusul keberhasilannya mencapai puncak Everest melalui dinding barat daya yang sulit di tahun 1975. Boardman yang kemudian hilang di punggungan timur laut Everest (1982) menulis arti keberanian dan ketabahan baginya: “Dibutuhkan lebih banyak keberanian untuk menghadapi kehidupan sehari-hari yang sebenarnya lebih kejam daripada bahaya pendakian yang nyata. Ketabahan. Tetapi dibutuhkan lebih banyak ketabahan untuk bekerja di kota daripada mendaki gunung yang tinggi.”
Keberanian dan ketabahan yang dibutuhkan ketika mendaki gunung cuma sebagian kecil saja darihidup kita. Bahaya yang mengancam jauh lebih banyak ada di dunia peradaban diperkotaan ketimbang di gunung, dihutan, didalam gua, atau dimana saja alam terbuka. Bayangkanlah mobil-mobil yang berseliweran kencang dijalan raya siap mencabut nyawa kita. Bayangkanlah aksi-aksi kriminal yang mengancam di kota-kota. Seorang ibu terkapar tewas bersama anaknya yang masih kecil di ruas jalan antara Cianjur-Bandung, terhantam sebuah bus! Satu keluarga di sebuah sudut ibukota tewas dibantai oleh sekelompok perampok! Kapan dating giliran kita? Semua jauh lebih mengerikan daripada bayangan kecelakaan yang terjadi di gunung.
Di dunia peradaban modern, di kota, begitu banyak masalah yang membutuhkan keberanian dan ketabahan untuk menyelesaikannya. Bayangkan, uang kita sudah begitu menipis sementara listik, langganan Koran, gaji pembantu, dan lain-lain belum terbayar. Dibutuhkan pula keberanian dan ketabahan yang besar untuk menghadap boss di kantor dan menyampaikan keinginan untuk berhenti bekerja, lalu mencari bidang pekerjaan lain yang lebih menjanjikan. Di gunung, masalah yang kita hadapi cuma satu: bagaimana mencapai puncaknya, lalu turun kembali dengan selamat.
Seorang psikolog pernah mengatakan, bahwa mereka yang menggemari petualangan di alam bebas adalah orang orang yang mencintai kematian, amor fati. Ini pendapat keliru besar. Kenapa? Mereka sebenarnya begitu menghargai kehidupan ini. Ada keinginan mereka untuk memberi arti yang lebih bernilai dalam hidup ini. Mereka bertualang dialam bebas untuk mencari arti hidup yang sebenarnya. Tak berlebihan bila seorang filsafat mengatakan “ Didalam hutan dan alam bebas aku merasa menjadi manusia kembali”.
Petualang yang tewas di gunung bukanlah orang yang mencintai kematian. Kematiannya itu sebenarnya tak berbeda dengan kematian oranglain yang tertabrak mobil dijalan raya atau terbunuh perampok. Yang pasti, Dia tewas justru dalam usahanya untuk menghargai kehidupan ini. ”Hidup ini harus lebih dari sekedarnya” tulis Budi Laksmono, dari Mapala UI yang tewas digulung jeram Sungi Alas, Aceh, 25 februari 1985.
George F Mallory, Soe Hok Gie, Peter Boardman, Budi Laksmono, dan banyak petualang lainnya adalah mereka yang menghargai kehidupan!
Dikutip dari buku, Mengapa Mendaki Gunung Sebuah tantangan Petualangan. Norman Edwin.
Silahkan tinggalkan pesan jika Anda punya saran, kritik, atau pertanyaan seputar topik pembahasan.